Tak
seorangpun yang bisa melupakan gurunya, karena guru itu berjasa mengubah gaya
hidup ‘muridnya’. Gurulah yang membuat kita seperti sekarang. Pemerintah
menyadari hal ini maka dibuat UU, PP, Permen sampai Perdirjen untuk ‘mengawal’
guru dalam menjalankan tugasnya. Bukan hanya itu, UUD mewajibkan 20% APBN harus
dialokasikan untuk pendidikan, sekaligus menggelontorkan dana yang besar untuk
sertifikasi guru. Mulai saat itulah guru mulai ‘tersenyum’. Sudah banyak negara
ini ‘berkorban’ untuk ‘kebahagiaan’ guru. Apakah kita sudah menyadarinya?
Guru… guru
merupakan ’tokoh kunci’ dalam menghidupkan proses pembelajaran untuk membelajarkan
siswa. Proses ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Kita akan
bisa berkomunikasi efektif apabila memiliki kompetensi pragmatik. Pragmatik
adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menggunakan bahasa untuk berkomunikasi
(Yule, 1996). Ilmu ini membekali para guru untuk ’piawai’ menyampaikan pesan (baca-materi pembelajaran) yang
bermakna bagi siswa. Bermakna berarti tuturan guru bisa langsung dicerna siswa
sebagai ’bahan baku’ siswa untuk berfikir, karena mengajak siswa berfikir
merupakan inti dari proses pembelajaran. Sebuah riset menunjukkan bahwa 90% kontribusi kualitas
pendidikan berasal dari kualitas guru, metode belajar yag tepat, dan buku
sebagi gerbang imu pengetahuan.
Guru…,
begitu banyak individu, instansi, organisasi, birokrasi yang mempunyai
kewenangan mengurus guru: mulai dari pengawas, kasi, kabid, kepala dinas,
kepala kantor kota kabupaten dan propinsi, direktur jenderal, direktur
pembinaan, kepala badan, kepala pusat, BSNP, LPMP, Dewan Pendidikan, PGRI,
dll. Pihak-pihak ini ‘berlomba-lomba’ mengurus kita. Tapi, yang
diperlukan ‘hanya’ satu: ‘orang’ yang datang ke kelas dan berkata kepada guru:
“Bukan begitu cara mengajar, cara mengajar yang baik itu seperti saya mengajar,
coba lihat saya mengajar”. Bukan hanya ‘melihat’ daftar hadir, RPP, silabus,
dsb.
Guru…, sudah berapa biaya yang sudah dihabiskan
pemerintah ‘hanya’ untuk ‘mengajak’ guru untuk mendengar ceramah dalam acara,
diklat, workshop, penataran, sosialisasi, pertemuan, seminar tentang guru. Yang
dibawa guru pulang hanya kebosanan, kejenuhan karena yang dibicarakan (bukan
yang didiskusikan) hanya teori belaka yang tidak real di lapangan. Yang
diinginkan guru hanya satu: ‘bagaimana membelajarkan siswa’, bukan teori
kurikulum, teori mengajar, apa lagi teori ‘menyalahkan guru’.
Guru…,
sekolah disebagian daerah sedang ‘mempercantik diri’ dengan menambah bangunan
baru, memrenovasi, menukar atap, mengecat dinding, memasang keramik bahkan ada
yang ‘memperbesar’ tiang. Tapi yang diperlukan guru sebenarnya bukan bangunan
fisik seperti itu, kami hanya perlu disiapkan media pembelajaran: buku, satu
buku satu siswa, kalau bisa satu laptop, satu siswa, koneksi internet, dan software
pembelajaran, dll. Untuk apa gedung megah, tapi siswa yang belajar dalam gedung
tidak merasa mereka belajar. Laku perubahan sistem pembelajaran ke sistem pembelajaran yang
berbasis ICT.
Guru…
pastilah kita bertemu dengan situasi berikut: (1) siswa tidak betah di dalam
kelas, (2) siswa menjadi ‘pedengar setia’ dalam interaksi kelas, (3) siswa
tidak berminat untuk berpartisipasi, (4) siswa membuat ‘keonaran’ dalam proses
pembelajaran, (5) siswa mengganggu temannya, (6) siswa malas ke sekolah, (7)
siswa ‘menyibukkan diri’ dalam kegiatan ekstra dan ‘melemaskan diri dalam
kegiatan intra (baca- belajar), (8) penampilan siswa tidak bergairah, sering
‘mual dan pusing-pusing’ kalau mau belajar, (9) ‘kegirangan’ kalau diumumkan
libur dan ‘kesal’ kalau diminta belajar, dsb. Mari kita ‘basmi’ kondisi ini.
Guru…, jika
dokter salah memberi obat, maka hanya satu pasien yang menanggung resiko,
mungkin pasien itu mati. Tetapi jika kita salah mendidik, maka yang mati bukan
hanya akal tetapi hati dan jiwa siswa sekaligus mematikan masa depannya dan
masa depan bangsa. Maka, jangan main-main dalam mendidik anak bangsa! Selamat
Hari Guru!
“Untuk guru-guru Indonesia
yang bersungguh-sungguh. Tidak ada pengabdian yang sia-sia.”